Jumat, 28 Maret 2014



 Tahun 2014 ini, bangsa Indonesia akan menyambut sebuah hajatan sakral lima tahunan, yakni Pemilu 2014. Banyak pakar dan pengamat politik mengatakan bahwa tahun 2014 ini adalah tahun politik, tahun 2014 ini bisa menjadi suatu baromerter bagaimana selama ini bangsa kita menjalankan alam demokrasinya. Pemilihan legislatif yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 April, serta pemilihan presiden yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 Juli, akan menjadi sebuah momentum besar bangsa ini. Hajatan sakral ini akan mengawal bangsa dan negara ini selama lima tahun kedepan. Sudah waktunya kita menyambut pesta demokrasi ini, bukan terlarut dalam euforia namun memberikan kontribusi nyata sebagai seorang pemuda dan Mahasiswa.
Bicara masalah pemilu, sudah sepantasnya kita melihat ulang sejarah bagaimana pemilu di negara ini bisa terselenggara. Tahun 1955 merupakan pemilu pertama yang diadakan di Indonesia, tepatnya pada saat orde lama dalam massa kepemimpinan presiden Soekarno. Pemilu 1955 bertujuan untuk memilih anggota DPR dan Konstituante. Pada pemilu 1955 ini, disebut-sebut sebagai pemilihan umum paling demokratis, dimana diselenggarakannya pemilu pada saat kondisi keamanan Indonesia sedang tidak kondusif dikarenkan kekacauan yang diimbulkan oleh  DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan Kartosuwiryo di beberapa daerah.
Pada saat massa orde baru kepemimpinan presiden Soeharto, pemilu pertama diadakan  pada tahun 1971 ,berlanjut pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Proses pemilu tetap berlanjut pada era reformasi. Pemilihan Umum 2004 adalahpemilu pertama yang memungkinkan rakyatuntuk memilih presiden secara langsung,dan cara pemilihannya benar-benar berbedadari Pemilu sebelumnya. Pada pemilu ini,rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden (sebelumnya presidendan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui Presiden). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti Pemilu 1999) — pada pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon presiden dan wakil presiden), bukan calon presiden dan calon wakil presiden secara terpisah.
         Sejarah telah mencatat bagimana bangsa ini telah melaksanakan proses demokrasinya. Sejarah nantinya juga akan mencatat bagaimana proses pemilihan umum 2014. Apakah sejarah akan mencatat pemilu 2014 sebagai pemilu paling demokratis? Paling jujur? Atau mungkin mencatatnya sebagai pemilu yang gagal? Hal itu tentu saja dikembalikan kepada segeneap elemen masyrakat dan jajran pemerintahan di Indonesia. Satu hal yang pasti, kita sebagai mahasiswa juga memiliki andil di dalamnya.
         Namun sangat disayangkan, dewasa ini banyak sekali masyarakat yang bersikap tidak mau tahu dengan kondisi pemilu. Banyak elemen masyarakat yang tidak menggunakan hak suarnya sebagaimana mestinya. Tingkat golput yang tinggi, memilih dengan asal-asalan, sampai penggunaan money politick yang luar biasa. Hal ini menjadi PR kita bersama tentunya. Penyelenggara Pemilu yang  berpedoman kepada asas  mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggara Pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, kuntabilitas, efisiensi dan efektivitas seolah-olah hanya menjadi jargon semata, tanpa diimbangi dengan realitas di lapangan.
             Masyarakat memang tidak bisa disalahkan seutuhnya dengan kondisi ini. Memilih dan tidak itu memang adalah hak masing-masing individu sekaligus konsekuensi logis dari adanya sistem demokrasi. Rendahnya pengetahuan politik, perilaku negatif para politisi, serta propaganda media, merupakan faktor-faktor yang tidak bisa kita lupakan dalam maslah ini.
          Citra dunia perpolitikan seakan-akan memang sengaja dicitrakan selalu negatif demi kepentingan beberapa pihak. Hal itulah yang menimbulkan pesimistis publik. Padahal, suatu negara selain membutuhkan pilar ekonomi untuk mensejahterakan dan pilar hukum untuk menegakkan keadilan, juga membutuhkan pilar politik untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau pilar politiknya saja lemah, lantas dengan apa lagi negara ini harus menata kehidupan berbangsa dan bernegaranya.
       Kita tidak bisa hanya berpangku tangan dengan semua masalah ini. Kita juga harus ikut turun tangan secara aktif untuk memperbaiki masalah ini. Posisi kita dalah sebagai mahaiswa. Sebagai siswa dengan tingkat intelektual yang paling tinggi. sangat disayangkan apabila kita sebagai mahasiswa tidak mau memberikan ide, gagsan, dan kontribusi kita pada bngsa dan negara. Kita tidak boleh melupakan sejarah, Negara ini didirikan oleh kaum-kaum intelektual, sebut saja soekarno, Hatta, Sutah Syahrir dan lain-lain. Mereka semua adalah kaum-kaum intelektual yang mau keluar dari zona nyamannya serta mengabdikan dirinya untuk bangsanya. Lantas, bagaimana dengan kita? Apa yang sudah kita perbuat untuk bangsa dan negara ini? Apakah kita hanya akan menjadi Mahsiswa yang terlalu sibuk dengan diktat dan tugas perkuliahan sehingga melupakan tanggung jawab sosialnya?
Pemilihan Umum 2014 ini bisa kita jadikan momentum untuk memberikan kontribusi kita. Menggunakan hak suara secara benar dan bijaksana adalah salah satu contohnya. Menggunakan hak suara sebagaiman mestinya adalah salah satu wujud kepedulian kita pada kondisi Indonesia. Memilih calon-calon pemimpin yang memang memiliki kualitas dan integritas, menjauhi memilih asal-aslan, serta mengatakn tidak pada money politik adalah sikap yang seharusnya diambil oleh Mahasiswa-Mahasiswa yang memegang teguh idealismenya. Mari bersama-sama kita kawal dan kita sukseskan bersama proses pemilu ini. Mari bersama-sama kita tunjukkan pada dunia betapa kokohnya demokrasi di Negara ini didirikan. Dan mari bersama-sama kita jadikan pemilu 2014 ini sebagai turning point untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik lagi.
Dulu, pada saat negara kita baru merdeka jumlah buta huruf hampir mencapai 90% dari jumlah penduduk Indonesia pada waktu itu. Dengan jumlah buta huruf yang begitu tinggi, kita memiliki semua persyaratan untuk pesimis. Namun sekarang, 90% dari jumlah buta huruf total itu menjadi 90% melek huruf total. Kita punya semua persyartan untuk menjadi bangsa yang optimis. Lantas apa lagi yang membuatmu tidak percaya bahwa Indonesia bisa lebih baik lagi?