Tahun 2014 ini, bangsa Indonesia akan
menyambut sebuah hajatan sakral lima tahunan, yakni Pemilu 2014. Banyak pakar
dan pengamat politik mengatakan bahwa tahun 2014 ini adalah tahun politik, tahun
2014 ini bisa menjadi suatu baromerter bagaimana selama ini bangsa kita
menjalankan alam demokrasinya. Pemilihan legislatif yang akan dilaksanakan pada
tanggal 9 April, serta pemilihan presiden yang akan dilaksanakan pada tanggal 9
Juli, akan menjadi sebuah momentum besar bangsa ini. Hajatan sakral ini akan
mengawal bangsa dan negara ini selama lima tahun kedepan. Sudah waktunya kita
menyambut pesta demokrasi ini, bukan terlarut dalam euforia namun memberikan
kontribusi nyata sebagai seorang pemuda dan Mahasiswa.
Bicara
masalah pemilu, sudah sepantasnya kita melihat ulang sejarah bagaimana pemilu
di negara ini bisa terselenggara. Tahun 1955 merupakan pemilu pertama yang
diadakan di Indonesia, tepatnya pada saat orde lama dalam massa kepemimpinan
presiden Soekarno. Pemilu 1955 bertujuan untuk memilih anggota DPR dan
Konstituante. Pada pemilu 1955 ini, disebut-sebut sebagai pemilihan umum paling
demokratis, dimana diselenggarakannya pemilu pada saat kondisi keamanan
Indonesia sedang tidak kondusif dikarenkan kekacauan yang diimbulkan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia)
pimpinan Kartosuwiryo di beberapa daerah.
Pada
saat massa orde baru kepemimpinan presiden Soeharto, pemilu pertama diadakan pada tahun 1971 ,berlanjut pada tahun 1977,
1982, 1987, 1992, dan 1997.
Proses
pemilu tetap berlanjut pada era reformasi. Pemilihan
Umum 2004 adalahpemilu pertama yang memungkinkan rakyatuntuk memilih presiden
secara langsung,dan cara pemilihannya benar-benar berbedadari Pemilu
sebelumnya. Pada pemilu ini,rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil
presiden (sebelumnya presidendan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya
dipilih melalui Presiden). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan presiden dan
wakil presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti Pemilu 1999) — pada
pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon presiden dan
wakil presiden), bukan calon presiden dan calon wakil presiden secara terpisah.
Sejarah telah
mencatat bagimana bangsa ini telah melaksanakan proses demokrasinya. Sejarah
nantinya juga akan mencatat bagaimana proses pemilihan umum 2014. Apakah
sejarah akan mencatat pemilu 2014 sebagai pemilu paling demokratis? Paling
jujur? Atau mungkin mencatatnya sebagai pemilu yang gagal? Hal itu tentu saja dikembalikan
kepada segeneap elemen masyrakat dan jajran pemerintahan di Indonesia. Satu hal
yang pasti, kita sebagai mahasiswa juga memiliki andil di dalamnya.
Namun sangat disayangkan, dewasa ini
banyak sekali masyarakat yang bersikap tidak mau tahu dengan kondisi pemilu.
Banyak elemen masyarakat yang tidak menggunakan hak suarnya sebagaimana
mestinya. Tingkat golput yang tinggi, memilih dengan asal-asalan, sampai
penggunaan money politick yang luar
biasa. Hal ini menjadi PR kita bersama tentunya. Penyelenggara Pemilu yang berpedoman kepada asas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib
penyelenggara Pemilu, kepentingan umum, keterbukaan,
proporsionalitas, profesionalitas, kuntabilitas,
efisiensi dan efektivitas seolah-olah hanya menjadi jargon semata, tanpa
diimbangi dengan realitas di lapangan.
Masyarakat memang tidak bisa
disalahkan seutuhnya dengan kondisi ini. Memilih dan tidak itu memang adalah
hak masing-masing individu sekaligus konsekuensi logis dari adanya sistem
demokrasi. Rendahnya pengetahuan politik, perilaku negatif para politisi, serta
propaganda media, merupakan faktor-faktor yang tidak bisa kita lupakan dalam
maslah ini.
Citra dunia perpolitikan seakan-akan
memang sengaja dicitrakan selalu negatif demi kepentingan beberapa pihak. Hal
itulah yang menimbulkan pesimistis publik. Padahal, suatu negara selain
membutuhkan pilar ekonomi untuk mensejahterakan dan pilar hukum untuk
menegakkan keadilan, juga membutuhkan pilar politik untuk menata kehidupan
berbangsa dan bernegara. Kalau pilar politiknya saja lemah, lantas dengan apa
lagi negara ini harus menata kehidupan berbangsa dan bernegaranya.
Kita tidak bisa hanya berpangku tangan
dengan semua masalah ini. Kita juga harus ikut turun tangan secara aktif untuk
memperbaiki masalah ini. Posisi kita dalah sebagai mahaiswa. Sebagai siswa
dengan tingkat intelektual yang paling tinggi. sangat disayangkan apabila kita
sebagai mahasiswa tidak mau memberikan ide, gagsan, dan kontribusi kita pada
bngsa dan negara. Kita tidak boleh melupakan sejarah, Negara ini didirikan oleh
kaum-kaum intelektual, sebut saja soekarno, Hatta, Sutah Syahrir dan lain-lain.
Mereka semua adalah kaum-kaum intelektual yang mau keluar dari zona nyamannya
serta mengabdikan dirinya untuk bangsanya. Lantas, bagaimana dengan kita? Apa
yang sudah kita perbuat untuk bangsa dan negara ini? Apakah kita hanya akan
menjadi Mahsiswa yang terlalu sibuk dengan diktat dan tugas perkuliahan
sehingga melupakan tanggung jawab sosialnya?
Pemilihan Umum 2014 ini
bisa kita jadikan momentum untuk memberikan kontribusi kita. Menggunakan hak
suara secara benar dan bijaksana adalah salah satu contohnya. Menggunakan hak
suara sebagaiman mestinya adalah salah satu wujud kepedulian kita pada kondisi
Indonesia. Memilih calon-calon pemimpin yang memang memiliki kualitas dan
integritas, menjauhi memilih asal-aslan, serta mengatakn tidak pada money
politik adalah sikap yang seharusnya diambil oleh Mahasiswa-Mahasiswa yang
memegang teguh idealismenya. Mari bersama-sama kita kawal dan kita sukseskan
bersama proses pemilu ini. Mari bersama-sama kita tunjukkan pada dunia betapa
kokohnya demokrasi di Negara ini didirikan. Dan mari bersama-sama kita jadikan
pemilu 2014 ini sebagai turning point
untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik lagi.
Dulu,
pada saat negara kita baru merdeka jumlah buta huruf hampir mencapai 90% dari
jumlah penduduk Indonesia pada waktu itu. Dengan jumlah buta huruf yang begitu
tinggi, kita memiliki semua persyaratan untuk pesimis. Namun sekarang, 90% dari
jumlah buta huruf total itu menjadi 90% melek huruf total. Kita punya semua
persyartan untuk menjadi bangsa yang optimis. Lantas apa lagi yang membuatmu
tidak percaya bahwa Indonesia bisa lebih baik lagi?