BAB I :
LANDASAN DAN KERANGKA BERFIKIR
Dalam benak/pikiran manusia terdapat sejumlah
gagasan-gagasan baik yang bersifat tunggal (seperti gagasan kita tentang
Tuhan, Dewa, malaikat, surga, neraka, kuda, batu, putih, gunung dan lain-lain)
maupun majemuk (seperti gagasan kita tentang Tuhan Pengasih, Dewa Perusak,
Malaikat pembawa wahyu, kuda putih, gunung batu dan lain-lain). Bentuk pengetahuan-pengetahuan
ini disebut pengetahuan tasawwur (konsepsi). Seluruh bentuk-bentuk proposisi
keyakinan atau kepercayaan apapun pada awalnya hanyalah merupakan bentuk
konsepsi sederhana ini. Mengapa bisa demikian? Hal ini karena adalah mustahil
seseorang dapat meyakini atau menpercayai sesuatu jika sesuatu itu pada awalnya
bukan merupakan sebuah konsepsi baginya.
Tetapi pengetahuan tasawwur (Konsepsi) sebagaimana telah
diketahui hanyalah merupakan gagasan-gagasan sederhana yang di dalamnya belum
ada penilaian maka itu ia dapat saja benar atau salah. Oleh karenanya seseorang
tidak diperkenankan untuk merasa puas hanya dengan pengetahuan konsepsi. tetapi
ia harus melangkah untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat yakin yaitu
pengetahuan-pengetahuan tasdhiqi. Dalam artian bahwa ia harus melakukan suatu
proses penilaian terhadap setiap gagasan-gagasan (baik tunggal maupun majemuk) atau konsepsinya itu
agar dapat diyakini. Lantas, pertanyaannya adalah apa landasan pokok penilaian
kita di dalam menilai seluruh gagasan-gagasan kita yang mana kebenarannya
mestilah bersifat mutlak dan pasti?
Dalam kanca perdebatan filosofis ketika para pemikir
mencoba menjawab hal pokok ini terbentuklah tiga mazhab berdasarkan doktrinnya
masing-masing. Ketiga mazhab itu adalah pertama, mazhab ‘metafisika
Islam’ dengan doktrin aqliahnya, kedua, mazhab emperisme dengan doktrin
emperikalnya dan ketiga, mazhab skriptualisme dengan doktrin
tekstualnya. Metafisika Islam dalam hal ini menjadikan prima principia
dan kausalitas serta metode deduktif sebagai kerangka berfikirnya. Adapun
mazhab emperisme menjadikan pengalaman inderawi atau eksperimen sebagai
landasan dalam menilai segala sesuatu dimana induktif sebagai kerangka
berfikirnya. Sementara mazhab skriptualisme menjadikan teks-teks kitab suci
sebagai landasan dalam menilai segala sesuatu serta tekstual dalam kerangka
berfikirnya.
Mazhab kedua (empirisme) menolak seluruh bentuk landasan
dan kerangka berfikir kedua mazhab yang lain. Begitu pula bagi mazhab ketiga
(skriptualisme), mereka skeptis terhadap landasan dan kerangka berfikir kedua
mazhab yang lain. Adapun bagi mazhab pertama (metafisika Islam), mereka tidak
menolak sumbangsih-informasi dari teks-teks kitab suci dan pengalaman inderawi
atau eksperimen yang dijadikan landasan berfikir bagi kedua mazhab yang lain
tetapi yang ditolaknya adalah bila keduanya (pengalaman dan teks-teks kitab)
itu merupakan landasan atau kriteria dasar dalam setiap penilaian hal-hal
ilmiah filosofis maupun teologis.
Bagi mazhab pertama (‘metafisika Islam’) pengalaman
inderawi atau data eksperimen merupakan informasi-informasi yang sangat perlu
dalam upaya kita mengetahui aspek sekunder dari alam materi. Atau dengan kata
lain data eksperimen atau pengalaman inderawi sangatlah dibutuhkan bila obyek
pembahasan kita adalah khusus mengenai hal-hal yang sebagian bersifat ilmiah
dan sebagian lagi bersifat filosofis. Adapun teks-teks kitab suci sangatlah
dibutuhkan dalam upaya kita mengetahuai aspek sekunder dari keadaan-keadaan
(kondisi objektif) seperti alam gaib, akhirat, kehendak-kehendak suci Tuhan
atau dengan kata lain jika obyek pembahasan kita berkenaan dengan sebagian dari
obyek filosofis (metafisika dan teologi) yang dalam hal ini pengalaman inderawi
atau eksperimen tak dibutuhkan sama sekali. Karena itu dalam kerangka berfikir
Islam, kedua data di atas (data pengalaman inderawi atau eksperimen dan
teks-teks kitab suci) merupakan premis-premis minor dalam sistematika
deduktif.
Pada akhirnya tak dapat diingkari bahwa dari mazhab
metafisika Islam yang berlandaskan prima
principia dan hukum objektif kausalitas serta kerangka deduktifnya
merupakan satu-satunya landasan berfikir di dalam menilai segala sesuatu. Tanpa
pengetahuan dasar tersebut mustahil ada pengetahuan tasawwur (konsepsi)
maupun tasdhiq (assent) apapun. Tak dapat dibayangkan apa yang terjadi
bila doktrin dari metafisika Islam ini bukan merupakan watak wujud (realitas
objektif) yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran? Maka kebenaran dapat
menjadi sama dengan kesalahannya, bahwa
setiap peristiwa dapat terjadi tanpa ada sebabnya. Bila demikian adanya maka
tentu meniscayakan mustahilnya penilaian. Mengapa demikian? Karena watak
penilaian adalah ingin diketahuinya “sesuatu itu (konsepsi) apakah ia benar
atau salah” atau ingin diketahuinya “mengapa dan kenapa sesuatu itu
dapat terjadi”. Artinya, jika pengetahuan dasar tersebut bukan merupakan
watak dan hukum realitas yang mengatur segala sesuatu termasuk pikiran maka
seluruh bangunan pengetahuan manusia baik di bidang ilmiah, filosofis dan
teologi menjadi runtuh dan tak bermakna.
BAB II:
DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Manusia adalah mahluk percaya.
Pada kadarnya masing-masing, setiap mahluk telah memiliki kepercayaan/kesadaran
berupa prinsip-prinsip dasar yang niscaya lagi rasional yang diketahui secara
intuitif (common sense) yang menjadi Kepercayaan utama makhluk sebelum
ia merespon segala sesuatu diluar dirinya. Dengan bekal ini, manusia memiliki
potensi untuk mengetahui dan mempercayai pengetahuan-pengetahuan baru melalui
aktivitas berpikir. Berpikir adalah aktivitas khas manusia dalam upaya
memecahkan masalah-masalah dengan modal prinsip-prinsip pengetahuan sebelumnya.
Memiliki sebuah kepercayaan
yang benar, yang selanjutnya melahirkan tata nilai, adalah sebuah kemestian
bagi perjalanan hidup manusia. pada hakikatnya, perilaku manusia yang tidak
peduli untuk berkepercayaan benar dan Manusia yang berkepercayaan salah atau
dengan cara yang salah tidak akan mengiringnya pada kesempurnaan. Maka mereka
tidak ubahnya seperti binatang. Manusia harus menelaah secara objektif
sendi-sendi kepercayaannya dengan segala potensi yang dimilikinya.
Kajian yang mendalam tentang
kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan melahirkan sebuah kesadaran
bahwa manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat dan cita-cita untuk menggapai
kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi. Artinya, ia mencari Zat Yang
Mahatinggi dan Mahasempurna (Al-Haqq).
Ada berbagai macam pandangan
yang menjelaskan tentang ketiadaan kebenaran dan kesempurnaan mutlak (Zat yang maha
sempurna) tersebut sehingga mereka menganggap bahwa alam ini terjadi dengan
sendirinya (kebetulan) tidak ada yang mengadakannya.
Metafisika Islam dengan Prima
principianya sebagai prinsip dasar dalam berpikir mampu menyelesaikan
perdebatan itu dengan penjelasan Kemutlakan WUJUD(ADA)nya, dimana Wujud adalah
sesuatu yang jelas keberadaannya dan Tunggal karena selain keberadaan adalah
ketiadaan sehingga apabila ada sesuatu selain ADA maka itu adalah ketiadaan dan
itu sesuatu yang mustahil karena ketiadaan tidak memiliki keberadaan.
Manusia - yang terbatas - tidak
sempurna – tergantung - memerlukan sebuah sistem nilai yang sempurna dan tidak
terbatas sebagai sandaran dan pedoman hidupnya. Sistem nilai tersebut harus
berasal dari ke-ADA-an (Zat Yang Mahasempurna) yang segala atributnya berbeda
dengan mahluk. Konsekuensi akan kebutuhan asasi manusia pada sosok Mahasempurna
ini menegaskan bahwa sesuatu itu harus dapat dijelaskan oleh
argumentasi-argumentasi rasional, terbuka, dan tidak doktriner. Sehingga, semua
lapisan intelektual manusia tidak ada yang sanggup menolak eksistensi-Nya.
Sekalipun demikian, kenyataan
menunjukkan bahwa Sang Mahasempurna itu diklaim oleh berbagai lembaga
kepercayaan (agama) di dunia ini dengan berbagai konsep, istilah dan bentuk. Simbol-simbol
agama yang berbeda satu sama lain tersebut menyiratkan secara tersurat beberapa
kemungkinan: semua agama itu benar; semua agama itu salah; atau, hanya ada satu
agama yang benar.
Agama-agama yang berbeda
mustahil memiliki sosok Mahasempurna yang sama, walau memiliki kesamaan
etimologis. Sebab, bila sosok tersebut sama, maka agama-agama itu identik.
Namun, kenyataan sosiologis menyebutkan adanya perbedaan pada masing-masing
agama. Demikian pula, menilai semua agama itu salah adalah mustahil, sebab
bertentangan dengan prinsip kebergantungan manusia pada sesuatu yang
mahasempurna (Al-Haqq/Tuhan). Maka dapatlah disimpulkan bahwa hanya satu agama
saja yang benar. Dengan argumentasi diatas, manusia diantarkan pada konsekwensi
memilih dan mengikuti agama yang telah terbukti secara argumentatif.
Diantara berbagai dalil yang
dapat diajukan, membicarakan keberadaan Tuhan adalah hal yang paling prinsipil.
Keberadaan dan perbedaan agama satu dengan yang lainnya di tentukan oleh sosok
“Tuhan“ tersebut. yang pasti, ciri-ciri keberadaan Tuhan (pencipta / khaliq).
Bertolak belakang dengan ciri-ciri khas manusia
(Yang diciptakan/ makhluq). Bila manusia adalah maujud tidak
sempurna, bermateri, tersusun, terbatas, terindera, dan bergantung, maka tuhan
adalah zat yang mahasempurna, immateri, tidak tersusun, sederhana, tidak
terdiri dari bagian, tidak terindera secara material, dan tunggal (Esa/Ahad).
Dengan demikian diketahuilah
bahwa manusia dapat mengetahui ciri-ciri umum Tuhan, namun mustahil dapat
mengetahui materi Zat-Nya. Manusia mengklaim dapat menjangkau zat Tuhan,
sesungguhnya telah membatasi Tuhan dengan Rasionya (reason). Segala sesuatu
yang terbatas, pasti bukan Tuhan. Ketika manusia menyebut “Dia Mahabesar“. Sesungguhnya
Ia lebih besar dari seluruh konsepsi manusia tentang kebesaran-Nya. Berdasarkan
hal tersebut, potensialitas akal (Intelect) manusia dalam mengungkap hakikat
zat-Nya menyiratkan bahwa pada dasarnya
seluruh makhluk diciptakan oleh-Nya sebagai manifestasi diri-Nya (inna
lillahi) yang kemudian akan kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi raji’un)
sebagai realisasi kerinduan manusia akan keabadian kesempurnaaan, kebahagiaan
mutlak.
Keinginan untuk merefleksikan
ungkapan terima kasih dan beribadah kepada Tuhan Yang Mahaesa menimbulkan
kesadaran bahwa Ia Yang Mahaadil mesti membimbing umat manusia tentang cara
yang benar dan pasti dalam berhubungan dengan-Nya. Pembimbing Tuhan kepada
setiap mahluk berjalan sesuai dengan kadar potensialitasnya dalam suatu cara perwujudan
yang suprarasional (wahyu) diberikan khusus kepada hamba-hamba-Nya yang
memiliki ketinggian spritual.
Relasi
konseptual tentang ke-Mahabijaksana-an Tuhan untuk membimbing makhluk secara
terus menerus dan kebutuhan abadi makhluk akan bimbingan memestikan kehadiran
sosok pembimbing yang membawa risalah-Nya (rasul), yang merupakan hak
prerogatif-Nya. Rasul adalah cerminan Tuhan di dunia. Kepatuhan dan kecintaan
makhluk kepada mereka adalah niscaya. Pengingkaran kepada mereka identik dengan
pengingkaran kepada Tuhan.
Bukti
kebenaran rasul untuk manusia ditunjukkan pula oleh kejadian-kejadian kasat
mata (empiris) luar biasa (mu’jizat bagi orang-orang awwam) maupun
bukti-bukti rasional(mu’jizat bagi para intelektual) yang mustahil dapat
dilakukan oleh manusia lain tanpa dipelajari. Pemberian tanda istimewa kepada
rasul akan semakin menambah keimanan seseorang. Mu’jizat juga sebagai bukti
tambahan bagi siapa saja yang tidak mau beriman kepada Tuhan dan pesuruh-Nya,
kecuali bila diperlihatkan kepadanya hal-hal yang luar biasa.
Kepatuhan
dan keyakinan manusia kepada rasul melahirkan sikap percaya terhadap apa pun
yang dikatakan dan diperintahkannya. Keyakinan tentang kitab suci (bacaan atau
kumpulan firman Tuhan, disebut Al-quran) yang dibawanya adalah konsekuensi
lanjutan. Di dalam kitab suci terdapat keterangan-keterangan tentang segala
sesuatu sejak dari alam sekitar dan manusia, sampai kepada hal-hal gaib yang
tidak mungkin dapat diterima oleh pandangan saintifik dan empiris manusia.
Konsepsi
fitrah dan ‘rasio’ tentang Realitas Mutlak (Tuhan) diatas ternyata selaras
dengan konsep teoritis tentang Tuhan dalam ajaran-ajaran Muhammad yang mengaku
rasul Tuhan yang disembah selama ini. Muhammad mengajarkan kalimat
persaksian/keimanan (syahadatan) bahwa tidak ada (la) Tuhan (ilah)
yang benar kecuali (illa) Tuhan yang merupakan kebenaran
Tunggal/Esa/Ahad (Allah, dari al-ilah). Ia (Muhammad) juga menerangkan bahwa
dialah rasul Allah (rasulullah). Menurut agama yang mengajarkan ketundukan dan
kepatuhan pada kebenaran (Islam) pada ummatnya ini (muslim). Proses
pencarian kebenaran dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik filosofis,
intuitif, ilmiah, historis, dan lain-lain dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan
yang terdapat di dalam Kitab suci maupun di alam ini.
Konsukuensi
lanjut setelah manusia melakukan pencarian ketuhanan dan kerasulan adalah
kecendrungan fitrah dan kesadaran rasionalnya untuk meraih kebahagiaan.
Keabadian, dan kesempurnaan. ketidak mungkinan mewujudkan keinginan-keinginan
ideal tersebut didalam kehidupan dunia yang bersifat temporal ini melahirkan
konsep tentang keberadaan hari akhirat -yang sebelumnya dimulai dengan
terjadinya kehancuran alam secara besar-besaran (qiyamah/ kiamat/ hari
agama/ yaum al-din)- sebagai konsekuensi logis keadilan Tuhan. Kiamat
merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau
duniawi. Disana tidak ada lagi kehidupan historis seperti kebebasan, usaha dan
tata masyarakat yang menimbulkan ganjaran dosa/pahala.
Kehidupan akhirat merupakan
refleksi perbuatan berlandaskan iman, ilmu, dan amal selama di dunia. Dengan
kata lain, ganjaran di akhirat adalah kondisi objektif dari relasi manusia
terhadap Tuhan dan alam.
BAB III: HAKEKAT PENCIPTAAN DAN EKSKATOLOGI (MA’AD)
Salah satu prinsip dasar
pandangan dunia yang merupakan pondasi penting dari keimanan Islam adalah
kepercayaan akan adanya kebangkitan dihari akhirat (kehidupan sesudah mati).
Beriman kepadanya karena merupakan suatu persyaratan hakiki untuk dapat disebut
muslim. Mengingkari kepercayaan ini dapat dipandang sebagai bukan muslim.
Sebelum masuk ke bahasan
tentang kehidupan sesudah mati maka masalah tujuan dari penciptaan harus
terlebih dahulu kita selesaikan, apakah yang memiliki tujuan dalam penciptaan
itu Tuhan ataukah Makhlukh? Dan kemanakah tujuannya?.
Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah bersandar pada landasan-landasan
metafisika Islam sehingga konsekwensi-konsekwensi yang dilahirkan dari pilihan
jawaban kita akan dapat terselesaikan dengan tanpa keraguan. Jawaban ini juga
yang akan menjelaskan kepada kita bahwa Tujuan dari seluruh ciptaan adalah
bergerak menuju sesuatu yang sempurna dan Kesempurnaan Tertinggi adalah Tuhan
maka Dia lah yang menjadi tujuan dari seluruh gerak ciptaan.
Bahasan tujuan penciptaan
itulah yang akan menjadi awal untuk selanjutnya kita masuk dalam pembahasan
kehidupan sesudah mati (Eskatologi).
Asal dan sumber dari
kepercayaan tentang adanya hari akhirat ini mestilah dibuktikan melalui
argumen-argumen filosofis sehingga tidak ada sedikitpun alasan yang dapat
dikemukakan (oleh mereka yang belum mempercayai wahyu Ilahi) untuk
meragukannya. Kesungguhan beragama terpacu dengan sendirinya bila kesadaran
akan adanya hari akhirat (kehidupan kekal) sebagai sesuatu yang mutlak atau
pasti terjadi. Sehingga oleh para nabi dan rasul
kepercayaan kepada Ekskatologi (Ma’ad) merupakan prinsip kedua setelah Tauhid.
Tema-tema yang membicarakan
masalah kehidupan akhirat ini atau kehidupan sesudah mati dari segi pandangan
islam berkenaan dengan maut, kehidupan sesudah mati, alam barzakh, hari
pengadilan besar, hubungan antara dunia sekarang dan dunia akan datang,
manifestasi dan kekekalan perbuatan manusia serta ganjaran-ganjarannya, kesamaan
dan perbedaan antara kehidupan dunia sekarang dan didunia akan datang,
argumen-argumen al-Qur’an dan bukti-bukti tentang dunia akan datang, keadilan
tuhan, kebijaksanaan tuhan.
Sepanjang kehidupan
baik didunia ini maupun diakhirat, kebahagiaan kita sangat tergantung pada
keimanannya pada hari tersebut. Karena ia mengingatkan manusia akan
akibat-akibat dari tindakan-tindakannya. Dengan cara ini manusia menyadari
bahwa perbuatan-perbuatan, perilaku, pemikiran-pemikiran, perkataan dan akhlak
manusia mulai dari yang paling besar hingga kepada yang paling kecil, mempunyai
awal dan akhir, sebagaimana mahluk manusia itu sendiri.
Tetapi manusia hendaknya tidak
berfikir bahwa semuanya itu berakhir pada masa kehidupan dunia ini atau periode
ini saja. Sebab segalanya itu tetap ada dan akan dimintai pertanggung jawaban
pada hari periode kedua.
Kebahagiaan manusia pada hari
itu bergantung pada kepercayaan pada hari atau periode kedua tersebut. Karena
pada hari kedua (periode kedua tersebut) manusia akan diganjar atau dihukum
sesuai perbuatan-perbuatannya. Itulah sebabnya maka
menurut islam beriman kepada hari kebangkitan dipandang sebagai tuntutan yang
hakiki bagi kebahagiaan manusia.
BAB IV:
MANUSIA DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN
Satu hal yang mesti dilakukan
sebelum kita membicarakan hal-hal lain dari manusia adalah sebuah pertanyaan
filosofis yang senantiasa hadir pada setiap manusia itu sendiri, yakni apa
sesungguhnya manusia itu? Dari segi aspek apakah manusia itu mulia atau
terhina? Dan apa tolak ukurnya? Tentu manusia bukanlah makhluk unik dan sulit
untuk dipahami bila yang ingin dibicarakan berkenaan dengan aspek basyariah
(fisiologis)nya. Karena cukup dengan menpelajari anatomi tubuhnya kita dapat
mengetahui bentuk atau struktur terdalamnya. Tetapi manusia selain merupakan
makhluk basyariah (dimensi fisiologis) dan Annaas (dimensi sosiologis) ia juga
memiliki aspek insan (dimensi psikologis) sebuah dimensi lain dari diri manusia
yang paling sublim serta memiliki kecenderungan yang paling kompleks. Dimensi
yang disebut terakhir ini bersifat spritual dan intelektual dan tidak bersifat
material sebagaimana merupakan kecenderungan aspek basyarnya.
Dari aspek inilah nilai dan
derajat manusia ditentukan dengan kata lain manusia dinilai dan dipandang mulia
atau hina tidak berdasarkan aspek basyar (fisiologis). Sebagai contoh cacat
fisik tidaklah dapat dijadikan tolak ukur apakah manusia itu hina dan tidak mulia tetapi dari aspek
insanlah seperti pengetahuan, moral dan mentallah manusia dinilai dan dipahami
sebagai makhluk mulia atau hina.
Dalam beberapa kebudayaan dan
agama manusia dipandang sebagai makhluk mulia dengan tolak ukurnya bahwa
manusia merupakan pusat tata surya. Pandangan ini didasarkan pada pandangan
Plotimius bahwa bumi merupakan pusat seluruh tata surya.seluruh benda-benda
langit ‘berhikmat’ bergerak mengitari bumi. Mengapa demikian? Karena di situ
makhluk mulia bernama manusia bercokol. Jadi pandangan ini menjadikan kitaran
benda-benda langit mengelilingi bumi sebagai tolak ukur kemulian manusia. Namun
seiring dengan kemajuan sains pandangan ini kemudian ditinggalkan dengan tidak
menyisakan nilai mulia pada manusia. Para ahli astronomi justru membuktikan hal
sebaliknya bahwa bumi bukanlah pusat
tata surya tetapi matahari.
Manusia tidak lagi dipandang sebagai
makhluk mulia bahkan dianggap tak ada bedanya dengan binatang adapun geraknya
tak ada bedanya dengan mesin yang bergerak secara mekanistis. Bahkan lebih dari
itu dianggap tak ada bedanya dengan materi, ada pun jiwa bagaikan energi yang
di keluarkan oleh batu bara. Karena itu wajar
bila manusia dan nilai-nilai kemanusiaan tak lagi dihargai. Maka
datanglah kaum humanisme berupaya mengangkat harkat manusia, dengan memandang
bahwa kekuatan, kekuasaan, kekayaan, pengetahuan ilmiah dan kebebasan merupakan
hal esensial yang membedakan manusia dengan selainnya.
Tetapi bila itu tolak ukurnya,
lantas haruskah orang seperti Fira’un atau Jengis Khan yang dapat melakukan apa
saja terhadap bangsa-bangsa yang dijajahnya dipandang mulia? Jika berilmu
pengetahuan merupakan tolak ukurnya.
Lantas, apakah dengan demikian orang-orang seperti Einstein yang paling berilmu
tinggi abad 20 atau para sarjana-sarjana itu lebih mulia dari seorang Paus
Yohanes Paulus II, Bunda Teresia atau Mahadma Ghandi bagi ummatnya masing-masing?
Sungguh semua itu termasuk ilmu pengetahuan – sepanjang peradaban kemanusiaan
manusia – tidak mampu mengubah dan memperbaiki watak jahat manusia untuk
kemudian mengangkatnya menjadi mulia. Lantas, apa sesunguhnya tolak ukur
kemanusian itu? Sungguh dari seluruh bentuk-bentuk konsepsi tentang manusia
yang ada di muka bumi tak satu pun yang dapat menandingi paradigma (tolak
ukur)nya serta tidak ada yang lebih representatif dalam memupuk psikologisnya
kearah yang lebih mulia dari apa yang ditawarkan Islam. Dalam konsepsi Islam
Tuhan (Allah) dipandang sebagai sumber segala kesempurnaan dan kemulian. Tempat
bergantung (tolak ukur) segala sesuatu. Karena itu pula sebagaimana diketahui
dalam konsepsi Islam, manusia ideal (insan
kamil) dipandang merupakan manifestasi Tuhan termulia di muka bumi dan
karenanya ditugaskan sebagai wakil Tuhan yang dikenal sebagai khalifah/nabi
atau rosul (QS.2:30). Karena itu, ciri-ciri kemulian Tuhan tergambar/
termanifestasikan pada dirinya (QS.33:21) sebagai contoh real yang terbaik (uswatun
hasanah) dari “gambaran/cerminan” Tuhan di muka bumi (QS.68:4). Dengan kata
lain bahwa karena Nabi merupakan representasi (contoh) Tuhan di muka bumi bagi
manusia dengan demikian nabi/rosul/khalifah sekaligus merupakan representasi yakni insan kamil (manusia sempurna) dari
seluruh kualitas kemanusiaan manusia. Tetapi walaupun manusia dipandang
sedemikian rupa dengan nabi sebagai contohnya, pada saat yang sama, dalam
konsepsi Islam manusia dapat saja jatuh wujud kemulian menjadi sama bahkan lebih
rendah dari binatang.
Dengan demikian keidentikan
kepadanya (khalifah/nabi/rasul) merupakan tolak ukur kemulian kemanusiaan
manusia dan sebaliknya berkontradiksi dengannya merupakan ukuran kebejatan dan
dianggap sebagai syaitan (QS.6:112).
BAB V: KEMERDEKAAN
MANUSIA (IKHTIAR MANUSIA)
DAN KENISCAYAAN UNIVERSAL (TAQDIR ILAHI)
Sebagai mahluk Tuhan yang
ditetapkan sebagai wakil Tuhan (QS. 2:30) manusia berbeda dengan batu, tumbuhan
maupun binatang. Batu ketika menggelinding dari sebuah ketinggian bergerak
berdasarkan tarikan gravitasi bumi tanpa ikhtiar sedikitpun begitu pula halnya
tumbuhan yang tumbuh hanya dibawah kondisi tertentu atau sebagaimana binatang
yang bertindak berdasarkan naluri alamiahnya. Ketiga mahluk-mahluk ini bergerak
atau bertindak tidak berdasarkan ikhtiari.
Namum bagi manusia, ia
merupakan mahluk yang senantiasa diperhadapkan pada berbagai pilihan-pilihan,
dan hanya dengan adanya sintesa antara ilmu dan kehendak yang berasal dari Tuhan
ia dapat berikhtiar (memilih) yang terbaik diantara pilihan-pilihan tersebut.
Tanpa ilmu tentang hal-hal ideal ataupun keharusan - keharusan universal maka
meniscayakan ketiadaan ikhtiar dan begitupula ketiadaan kehendak atau keinginan
maka iapun mungkin memilih, orang gila (tidak berilmu) dan pingsan (tak berkehendak)
adalah bukti nyata ketiadaan ikhtiar. Sementara, ketiadaan ikhtiar bukti
ketiadaan kebebasan dan itu memustahilkan terwujudnya kemerdekaan. Jadi ia
merupakan mahluk berikhtiar yang hanya dapat bermakna bila berhadapan diantara
keharusan-keharusan universal (takdir).
Keharusan - keharusan universal
atau yang biasa disebut sebagai takdir takwini ataupun takdir tasri’i baik yang
bersifat defenitif (Dzati) maupun yang tidak bersifat defenitif (Sifati)
bukanlah berarti bahwa manusia sesungguhnya hanya sebuah robot yang bergerak
berdasarkan skenario yang telah dibuat Tuhan, tetapi hendaklah dipahami bahwa
takdir tidak lain sebagai sebuah prinsip akan terbinanya sistem kausalitas umum
(bahwa akibat mesti berasal dari sebab-sebab khususnya, dimana rentetan
kausalitas tersebut berakhir pada sebab dari segala sebab yakni Tuhan) atas
dasar pengetahuan dan kehendak ilahi yang Maha Bijak. Takdir Takwini (Ketetapan
penciptaan) tiada lain merupakan prinsip kemestiaan yang mengatasi sistem
penciptaan alam dan takdir tasyrii (Ketetapan Syariaat) merupakan prinsip
kemestiaan yang mengatur sistem gerak individu maupun masyarakat dari segi
sosiologis dan spritual.
Memahami konsep takdir sebagai
sebuah skenario yang telah ditetapkan oleh Tuhan meniscayakan ketiadaaan
keadilan tuhan dan konsep pertanggungjawaban. Sebaliknya bila takdir tidaklah
dipahami sebagaimana yang telah didefenisikan diatas (yakni takdir takwini
sebagai sebuah sistem yang mengatur proses penciptaan dan takdir tasyri’i
sebagai ketapan yang mengatur kehidupan etik, sosial dan spritual individu dan
masyarakat). Maka itu berarti bahwa pada proses kejadian fenomena alam, panas
dapat membuat air menjadi beku dan sekaligus mendidih. Berbuat baik akan
mendapat surga dan sekaligus neraka, atau pujian sekaligus cacian. Bila
demikian adanya maka yang terjadi adalah disatu sisi akan terjadi kehancuran
pada alam, individu dan masyarakat, disisi lain memustahilkan adanya
pengetahuan pasti tentang mengininkan mendidih atau beku, surga atau neraka dan
karenanya pula meniscayakan mustahilnya ikhtiar.
Artinya ikhtiar itu
menjadi berarti hanya bila pada realitas terdapat hukum-hukum yang pasti
(takdir) atau dengan kata lain ikhtiar pada awalnya berupa potensial dan ia
menjadi aktual bila terdapat adanya dan diketahuinya takdir tersebut. Karena
itu pula dapat dikatakan tanpa takdir tidak ada ikhtiar.
Sebaliknya ketiadaan potensi
ikhtiar pada manusia meniscayakan takdir menjadi tidak bermakna/berlaku. Bagi
orang-orang gila dan yang belum baligh (bayi) tidak dapat memanfaatkan
hukum-hukum penciptaan untuk membuat suatu teknologi apapun. Bagi mereka
hukum-hukum syariat tak diberlakukan. Dengan demikian takdir ilahi itu sendiri
mengharuskan adanya iktiar bagi manusia agar dengan begitu takdir-takdir pada
alam dapat dipergunakan, dimanfaatkan atau secara umum dapat dikatakan bahwa
keadilan Ilahi sebagai keharusan universal itu sendiri meniscayakan adanya
ikhtiar dan takdir. Tanpa ikhtiar maka takdirpun tidak
bermanfaat dan tidak berlaku, sebaliknya tanpa takdir meniscayakan ketiadaan
ikhtiar pada manusia, tiada ikhtiar meniscayakan ketiadaan kebebasan dan
ketiadaan kebebasan memustahilkan terwujudnya kemerdekaan.
Kebebasan dan kemerdekaan
tidaklah bermakna sama. Kemerdekaan tidak dipredikatkan kepada binatang kecuali
pada manusia tetapi sebaliknya manusia dan binatang dapat dipredikatkan bebas
atau mendapatkan kebebasan. Kebebasan pada manusia mesti bukanlah sebagai
tujuan akhir bagi manusia. Sebab bila kebebasan merupakan sebagai tujuan akhir
maka kebebasan menjadi deterministik itu sendiri, dalam arti bahwa ia tidak
lagi berbeda dengan sebuah ranting ditengah lautan yang bergerak kekiri dan
kekanan dikarenakan arus dan bukan berdasarkan pilihannya. Kebebasan hanya
merupakan syarat (mesti) awal dalam menggapai cita-cita ideal (Kesempurnaan
Tuhan) sebagai tujuan akhir dan inilah yang dimaksud dengan kemerdekaan.
Kebebasan individu bukan
berarti kebebasan mutlak yang mana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan
orang atau individu yang lain. Sebab defenisi kebebasan itu tersebut adalah
sistem etik yang hanya menguntungkan orang - orang kuat dan mendeskreditkan
orang-orang lemah. Ini karena bagi orang kuat kebebasannya itu sendiri telah
dapat membungkam orang-orang lemah, dengan kata lain eksisten orang-orang lemah
tidak memiliki daya untuk membatasi kebebasan orang kuat. Sistem ini hanya
berlaku bagi individu-individu yang sama-sama memiliki kekuatan. Atau kebebasan
kita dibatasi oleh kebebasan orang lain karena kebebasan orang lain tersebut
lebih kuat.
Sesungguhnya kebebasan individu
tidaklah demikian. Kebebasan individu berarti bahwa secara sosial dalam
interaksinya dengan orang lain ia tidak berada pada posisi tertindas dan secera
spiritual ia tidak berada dalam posisi menindas. Kebebasan bukan berarti memanfaatkan
kekuatan dan kekuasaan dalam melakukan apa saja tetapi dalam arti kemampuan
untuk tidak memanfaatkan kekuatan dan kekuasaan (menahan diri) untuk membalas
menindas ketika ia berada pada posisi memiliki kesempatan untuk itu, dan ini
adalah satu pengertian kemerdekaan
manusia dan keharusan universal.
BAB VI:
INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Salah satu sifat khas manusia
sebagai makhluk dan karenanya ia berbeda dengan binatang adalah bahwa ia
merupakan makhluk yang diciptakan selain sebagai makluk berjiwa individual, bermasyarakat merupakan kecenderungan alamiah dari jiwanya
yang paling sublim. Kedua aspek ini mesti dipahami dan di letakkan pada
porsinya masing-masing secara terkait. Sebab yang pertama melahirkan perbedaan dan yang kedua
melahirkan kesatuan. Karena itu mencabut salah satunya dari manusia itu berarti
membunuh kemanusiaananya. Dengan kata lain bahwa perbedaan-perbedaan (bukan
pembedaan-pembedaan) yang terjadi di antara setiap individu-individu (sebagai
identitas dari jiwa individual) merupakan prinsip kemestian bagi terbentuknya
masyarakat dan dinamikanya. Sebab bila sebuah masyarakat, individu-individu
haruslah memiliki kesamaan, maka ini berarti dinamisasi, dalam arti, saling
membutuhkan pastilah tak terjadi dan karenanya makna masyarakat menjadi
kehilangan konsep. Di sisi lain dengan adanya perbedaan-perbedaan di antara
para individu meniscayakan adanya saling membutuhkan, memberi dan
kenal-mengenal dan karena itu konsep kemanusiaan memiliki makna.
Di sisi lain kecenderungan
manusia untuk hidup bermasyarakat merupakan kecenderungan yang bersifat fitri.
Ia tidak bedanya hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang
berkeinginan secara fitri untuk membentuk sebuah keluarga. Jadi Ia membentuk
masyarakat karena adanya hubungan individu-individu yang terkait secara fitrah
dan alamiah untuk membentuk sebuah komunitas besar. Bukan terbentuk berdasarkan
sebuah keterpaksaan, sebagimana beberapa individu berkumpul dikarenakan adanya
serangan dari luar. Bukan juga bedasarkan proses kesadaran sebagai langkah
terbaik dalam memperlancarkan keinginan bersama, sebagaimana sejumlah individu berkumpul dan sepakat bekerja sama sebagai
langkah terbaik dalam mencapai tujuannya masing-masing. Karena itu
masyarakat didefinisikan sebagai adanya kumpulan-kumpulan dari beberapa
individu-individu secara fitri maupun suka dan duka dalam mencapai tujuan dan
cita-cita bersama adalah membentuk apa yang kita sebut sebagai masyarakat. Kumpulan dari sejumlah individu
adalah “badan” masyarakat ada pun kesepakatan atau tidak dalam mencapai
cita-cita dan tujuan idealnya adalah merupakan “jiwa” masyarakatnya. Karena itu
selain bumi (daerah/tempat tinggal) dan sistem sosial (ikatan psikologis antara
individu-individu), individu merupakan salah satu unsur terbentuknya sebuah
masyarakat. Tanpa manusia (individu) maka masyarakat pun tidak ada.
Masyarakat itu sendiri merupakan
senyawa sejati, sebagaiman senyawa alamiah. Yang disentesiskan di sini adalah
jiwa, pikiran, cita-cita serta hasrat. Jadi yang bersintesis adalah bersifat
kebudayaan. Jadi, individu dan masyarakat memiliki eksistensi (kemerdekaan)
masing-masing dan memiliki kemampuan mempengaruhi yang lain. Bukan kefisikan.
Walaupun begitu eksistensi individu dalam kaitannya terhadap masyarakat mendahului eksistensi masyarakat. Memandang
bahwa eksistensi masyarakat mendahului individu berati kebebasan dan kemanusiaannya
telah dicabut dari manusia (individu) itu sendiri.
Walaupun manusia memiliki
kualitas-kualitas kesucian, potensi tersebut dapat saja tidak teraktual secara
sempurna dikarenakan adanya kekuatan lain dalam diri manusia berupa hawa nafsu
yang dapat saja merugikan orang lain dan diri sendiri. Sebab hawa nafsu ini
mulai teraktual di kala interaksi antara individu dengan individu lain dalam
kaitannya dengan bumi (sumber harta benda). Bahkan keserakahan ini dapat saja
berkembang dalam bentuk yang lebih besar, sebagaimana sebuah bangsa menjajah
bangsa lain. Fenomena ini dapat mengancam kehidupan manusia dan kelestarian
alam. Dengan demikian, pertanggung-jawaban ini bagi setiap individu, selain
bersifat individual juga bersifat kolektif. Ini karena, pertanggung-jawaban
individual terjadi ketika sebuah perbuatan memiliki dua dimensi, yaitu: si
pelaku (sebab aktif) dan sasaran yang disiapkan oleh pelaku (sebab
akhir). Apabila dalam perbuatan tersebut terdapat
dimensi ketiga, yaitu sarana atau peluang yang berikan untuk terjadinya
perbuatan tersebut dan lingkup pengaruhnya (sebab material), maka
tindakan tersebut menjadi tindakan kolektif. Jadi Masyarakat adalah pihak yang
memberikan landasan bagi tindakan kolektif dan membentuk sebab material. Ini
berarti, individu memiliki andil besar dalam mengubah wajah bumi atau
mengarahkan perjalanan sebuah masyarakat kearah yang sempurna atau kehancuran.
Tidak ada jalan lain
bahwa untuk menghadapi ancaman-ancaman ini, manusia memerlukan adanya sebuah
sistem sosial yang adil yang memiliki nilai sakralitas dan kesucian dan
berdasarkan tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa). Mengajarkan
sebuah pandangan dunia bahwa segala sesuatu milik Tuhan. Dihadapan Tuhan tidak
ada kepemilikan manusia, kecuali apa yang dititipkan dan diamanahkan kepadanya
untuk mengatur dan mendistribusikan secara adil. Kesadaran akan sakralitas dan
kesucian sistem tersebut memberikan implikasi kehambaan terhadap Tuhan.
Berdasarkan kesadaran dan pertimbangan seperti itu maka interaksi antara
individu dengan individu lainnya dalam hubungannya terhadap alam akan berubah
dari watak hubungan antara tuan/raja dan budak menjadi hubungan antara hamba
Tuhan dengan hamba Tuhan yang lain dengan mengambil tugas dan peran masing-masing berdasarkan kapasitas-kapasitas
yang diberikan dalam menjaga, mengurus, mengembangkan, mengelolah,
mendistribusikan dan lain-lain. Karena itu berdasarkan fitrah/ruh Allah seorang
manusia (individu) diciptakan dan ditugaskan sebagai khalifah/nabi/rosul
(wakil/ utusan Tuhan) oleh Allah di muka bumi (QS.2:30) untuk
memakmurkan bumi dan membangun dan masyarakatnya untuk mewujudkan sistem
sosial.
BAB VII:
KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI
Keadilan menjadi sebuah konsep
abstrak yang sering diartikan secara berbeda oleh setiap orang utamanya mereka
- mereka yang pernah mengalami suatu ketidakadilan dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal ini menuntut secara tegas perlu dilakukan redefenisi
terhadap apa yang dimaksud dengan keadilan.
Bila keadilan diartikan sebagai
tercipta suatu keseimbangan dan persamaan yang proporsional maka pemecahan
permasalahan keadilan sosial dan ekonomi hanya dapat teratasi dengan menemukan
jawaban terhadap sebab - sebab terjadinya ketidakadilan sosial dan ekonomi
serta bagaimana agar dalam distribusi kekayaan dapat terbagi secara adil
sehingga terhindar dari terjadinya diskriminasi dan pengutuban, atau kelas
dalam masyarakat.
Jelas terlihat dari problem
yang dihadapi bahwa kasus keadilan sosial dan ekonomi bukanlah merupakan
wilayah garapan ilmu ilmiah (positif). Karena masalah keadilan bukanlah
fenomena empiris yang dapat diukur secara kuantitatif. Namun ia merupakan
konsep abstrak yang berkenaan dengan aspek kebijakan-kebijakan praksis, karena
itu ia merupakan garapan filosofis dan bersifat ideologis. Itulah sebabnya
mengapa dalam menjawab masalah diatas setiap orang atau kelompok memiliki
jawaban dan konsep yang berbeda sesuai dengan ideologi, kandungan batinnya
serta kapasitas pengetahuannya.
Kapitalisme sesuai dengan
konsepnya tentang manusia yang berkenaan dengan karakter dasar dan tujuan akhir
manusia yaitu bahwa manusia pada dasarnya bersifat baik dan lemah, cenderung
meyakini bahwa penyebab terjadinya diskriminasi serta tidak terjadinya distribusi
kekayaan secara tidak adil dikarenakan dipasungnya kebebasan individu oleh baik
masyarakat, pemerintah, individu lain disatu sisi dan di sisi lain tidak adanya
aturan-aturan yang menjamin kepentingan-kepentingan individu. Berdasarkan ini
upaya menciptakan keadilan sosial maupun ekonomi bisa terwujud hanya dengan
cara memberikan kebebasan secara mutlak, yakni kesempatan ekonomi yang
seluas-luasnya kepada setiap individu dimana kebebasannya hanya dibatasi oleh
kebebasan orang lain, meskipun kebebasan ini justru dapat menyebabkan perbedaan
pendapatan dan kekayaan individu (dengan asumsi bahwa orang menggunakan
kebebasannya secara sama dalam sistem kapitalis).
Sebaliknya sosialisme yang
didasarkan pada konsepnya tentang manusia dan pandangan hidupnya yang melihat
bahwa penyebab terjadinya diskriminasi sosial dan ekonomi sehingga terciptanya
kelas - kelas dalam masyarakat dimana yang satu semakin miskin dan yang lain
semakin kaya dikarenakan adanya kekuatan yang menghambat proses berubahnya
kesadaran kolektif dari kesadaran kesadaran kepemilikan pribadi ke kepemilikan
sosial (bersama). Karena itu untuk menciptakan keadilan sosial dan ekonomi,
maka tidak ada cara lain kecuali diperlukan suatu sistem sosial yang berfungsi
mengatur atau merawat dalam hal menghilangkan kepemilikan pribadi atas alat -
alat produksi ketempatnya yang sebenarnya yaitu kepemilikan bersama (seluruh
anggota masyarakat harus memiliki pendapatan dan kekayaan yang sama) yang
dalam hal ini diwakili oleh negara dengan cara menasionalisasikan alat-alat
produksi tersebut.
Adapun menurut Islam kepemilikan
pribadi bukanlah penyebab terjadinya malapetaka kemanusiaan sebagaimana
yang disangka oleh kaum sosialis komunisme. Bahkan sebaliknya kepemilikan
pribadi yang semata-mata materialistik justru penyebab proses kehancuran sistem
kapitalis. Setiap konsep keadilan akan menemui jalan buntu jika ia tak seiring
dengan naluri dasar alamiah manusia yaitu kepentingan individu atau apa yang
sering disebut sebagai ego. Itulah sebabnya mengapa ketika seluruh alat
- alat produksi telah dinasionalisasikan yang kemudian diamanahkan kepada
negara yang nota bene adalah terdiri dari individu - individu sebagai
pengelolahnya kemudian berubah menjadi kapitalisme atau borjuis - borjuis baru
yang diktator dan menganggap diri mereka tuan (penguasa) bagi unit-unit yang
mereka pimpin. Artinya adalah penghapusan kepemilikan pribadi tidak dapat
mengubah mentalitas manusia yang punya kecenderungan egoistik.
Bagi Islam satu -
satunya jalan yang dapat mengatasi masalah ketidakadilan adalah dengan
memberikan jaminan pendapatan tetap, dengan kemungkinan mendapatkan lebih
banyak serta mengubah konsepsi manusia tentang manusia dan pandangan hidupnya
dari semata-mata bersifat materialistik kekesadaran teologis dan ekskatologis,
tanpa memasung atau bahkan mematikan naluri alamiahnya.
Adalah suatu kemustahilan
disatu sisi ketika kesadaran teologis dan ekskatologis telah dimusnahkan dari
pandangan dunia seseorang dan disisi lain dengan menghilangkan kepemilikan atau
kepemilikan pribadinya kemudian serta merta ia berubah dari individualis
menjadi seorang pribadi yang sosialis (bukan sosialisme).
Menurut Islam ego (kepentingan
pribadi) merupakan suatu kekuatan yang diletakkan oleh Allah dalam diri manusia
sebagai pendorong. Kekuatan ini dapat mendorong manusia untuk melakukan hal
yang diskriminatif, serakah dan merusak tetapi ia juga dapat mendorong manusia
untuk mencapai kualitas spiritual yang paripurna (insan kamil). Karena
itu Islam tidak datang untuk membunuh ego dengan seluruh kepentingannya, namun
ia datang untuk memupuk, membina dan mengarahkannya secara spiritual dengan
suatu kesadaran teologis (TAUHID) dan Ekskatologis (MAAD).
Bagi Islam penyebab
terjadinya ketidakadilan sosial dan ekonomi atau dengan kata lain penyebab
terjadinya kelas-kelas dalam masyarakat disebabkan oleh tidak adanya kesadaran
tauhid. Hal ini dapat dilihat ketika al-Qur’an menceritakan mental Fir’aun yang
sewenang-wenang sehingga disatu sisi sebagai penyebab terjadinya kelas-kelas
(penduduk pecah belah), (QS.28:4) dengan menobatkan dirinya menjadi Tuhan
(QS.28:38-39), karena itu untuk kepentingan mengatasi hai ini Islam mengajarkan
untuk merealisasikan suatu konsep yaitu sebagaimana dikatakan dalam Al- Quran yang artinya: ....tidak kita
sembah Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula)
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah (QS.3:64).
Adapun di sisi lain penyebab terjadinya ketidak adilan ekonomi (yang
miskin semakin miskin dan sebaliknya) disebabkan tidak berjalannya sistem
tauhid (pelaksanaan syariat) karena itu kata al-Qur’an menegaskan
sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) taurat, Injil, dan apa
yang diturunkan kepada mereka dari tuhan mereka, niscaya mereka akan
mendapatkan makanan dari langit atas mereka dan dari bawah kaki mereka
(QS.5:66) atau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah
kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (QS.7:96) atau
bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus diatas jalan itu (Agama Islam;
melarang praktek riba, serta menganjurkan atau bahkan mewajibkan khumus,
Jis’ah, sedekah, infak, zakat dll), niscaya benar-benar kami akan memberikan
minuman kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak, QS.72:16).
Artinya menurut Islam bahwa
prinsip dari hubungan khusus antara bertindak sesuai dengan perintah-perintah
Tuhan di satu sisi dengan kemakmuran disisi lain atau dalam bahasa modernnya,
hubungan antara distribusi yang adil dengan peningkatan produksi, yakni bahwa
tidak akan terjadi kekurangan produksi dan kemiskinan bila distribusi yang adil
dilaksanakan. Dengan kata lain distribusi yang adil akan mendongkrak kekayaan
dan meningkatkan kemakmuran sebagai bukti “berkat dari langit dan bumi” telah
tercurahkan.
Dengan persfektif yang demikian
inilah selanjutnya akan melahirkan kesadaran kemanusiaan yang tinggi sebagai
bentuk manifestasi dari pengabdian serta kecintaan kita kepada Allah SWT.
Disamping itu, guna menegakkan
nilai keadilan sosial dan ekonomi dalam tataran praktis diperlukan kecakapan
yang cukup. Orang-orang yang memiliki kualitas inilah yang layak memimpin
masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang
memperoleh hak asasinya dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan
orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan
tanggung jawab sosial. Lebih jauh lagi, negara dan pemerintah sebagai bentuk
yang terkandung didalamnya adalah untuk menciptakan masyarakat yang
berkeadilan, baik berupa keadilan sosial maupun keadilan ekonomi. Dan hanya
setelah terpenuhinya pra-syarat inilah negara ideal sebagai dicita-citakan
bersama (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur) dapat diwujudkan.
Tidak diragukan lagi dari
kajian yang komprehensif dan holistik dapat mengantar kita pada satu kebenaran
rasional ideologi (syariat) Islam yang telah mengajarkan akan
persaudaraan, keadilan dan kesamaan hak untuk diamalkan oleh setiap kaum
muslimin khususnya, sampai kepada sektor-sektor produksi sosio-ekonomi dan
pembagian kekayaan. Atau hukum-hukum yang lebih bersifat spesifik menyangkut
hal-hal yang memerlukan rincian, seperti pemanfaatan lahan pertanian,
penggalian mineral, sewa-menyewa, bunga, zakat, khumus (yakni mengeluarkan
20-30% dari keuntungan bersih) dan pembelanjaan umum dan lain sebagainya
yang dikelola langsung oleh negara, atau lembaga sosial di bawah kontrol
masyarakat dan negara yang berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan.
BAB VIII: SAINS ISLAM
Sains dalam sejarah perkembangan
seringkali dinaturalisasikan sebagai sebuah upaya pencocokan terhadap
nilai-nilai budaya, agama atau pandangan - pandangan tertentu suatu masyarakat.
Asimilasi dan akulturasi inilah yang
kemudian menjadi bentuk baru (khas) sebuah peradaban, rasionalisme di yunani
dan positivisme di Eropa adalah contoh-contahnya.
Naturalisasi terhadap sains itu
sendiri dilakukan sebab sains diakui memiliki kekuatan yang ambigu. Disatu sisi
ia dapat mengembangkan suatu masyarakat karena kemampuannya mengatasi
masalah-masalah praktis dan prakmatis manusia serta kemampuannya yang dapat
merubah konstruk berfikir manusia itu sendiri sehingga membawa mereka ke arah
peradaban baru yang lebih maju, disisi lain dengan kemampuan yang sama, ia juga
memiliki sifat destruktif untuk menghancurkan atau merombak nilai-nilai budaya,
agama maupun spiritualitas suatu masyarakat.
Positivisme misalnya merupakan
hasil sebuah naturalisasi sains didunia masyarakat Eropa dan telah dipandang
sebagai kebenaran. Sains ini (positivisme) adalah sebuah sains yang memiliki
watak atau karakter yang bersifat materealistik yaitu sains yang menolak hal -
hal yang bersifat metafisis, spiritual maupun mistis, karenanya dalam
karakternya yang demikian sains ini dapat menghancurkan atau melunturkan
konsep-konsep teologi dan nilai - nilai keagamaan lainnya.
Sehingga bukanlah hal yang
berlebihan bila beberapa pemikir muslim melakukan islamisasi sains terhadap
sains-sains modern (sains positivisme) sebagai sebuah bentuk keseriusan mereka
dalam menjawab hal ini dan sekaligus sebagai wujud dari naturalisasi sains
didunia Islam, sehingga pengaruhnya yang negatif terhadap gagasan metafisis
(Teologi dan Ekskatologi) dan nilai-nilai agama Islam lainnya dapat dihindari.
Hasil dari upaya islamisasi sains inilah yang kita sebut sains islam.
Islamisasi sains atau sains
Islam dapat dimulai dengan menggagas untuk meletakkan dasar bagi landasan
epistimologinya yaitu dengan membuat klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan
basis ontologinya serta metodologinya yang sesuai dengan semangat (Spirit)
Islam itu sendiri, yakni teologi (Tauhid), Ekskatologi (Ma’ad), serta
Kenabiaan.
Islamisasi sains dengan
pelabelan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits yang dipandang sesuai dengan penemuan
sains mestilah dihindari, karena kebenaran-kebenaran al-Qur’an bersifat abadi
dan universal, sementara kebenaran-kebenaran sains modern selain bersifat
temporer dan hanya benar dalam lingkup ruang dan waktu tertentu, sains ini juga
bersifat materealistik atau positivistik.
Pendekatan demikian akan
mengalami jalan buntu dengan berubahnya teori-teori sebelumnya dengan
ditemukannya teori-teori baru. Dengan demikian ayat-ayat yang tadinya dipandang
relevan dengan teori-teori sebelumnya, alau menjadi dipertanyakan relevansinya.
Begitupula islamisasi sains
tidak dengan upaya mendengungkan ayat-ayat al-Qur’an tentang kewajiban berilmu
pengetahuan ke telinga generasi muslim. Hal ini karena upaya tersebut berkaitan
dengan sumberdaya manusia (SDM) muslim yang mayoritas telah atau akan
berkembangg tidak sesuai dengan sains islam.
Namun pendekatan yang mesti
dilakukan adalah dengan membuat klasifikasi ilmu pengetahuan dengan menetapkan
status dan basis ontologinya, sebab ia merupakan basis bagi sebuah
epistimologi. Perbedaan dalam menetapkan status ontologis meniscayakan perbedaan
pada status epistimologi berikut metodologinya. Perbedaan ini dapat terlihat
pada epistimologi modern dengan epistimologi yang telah dicanangkan oleh para
filosof muslim yang telah ditinggalkan oleh mayoritas kaum muslim itu sendiri.
Epistimologi barat berbasis
pada status ontologi materealistik dan menolak adanya realitas (ontologi)
metafisis. Epistimologi ini hanya memusatkan perhatiannya pada objek fisik.
Adapun sains islam bukan hanya
berbasis kepada status ontologis alam materi (objek-objek fisika) tetapi lebih
dari itu ia tetapkan pula bahwa selain status ontologi alam materi terdapat
pula objek ontologi alam mitsal (objek-objek matematika) dan objek ontologi
alam akal (objek-objek metafisika).
Berdasarkan klasifikasi sains
seperti ini, sains Islam menawarkan beberapa metodologi ilmiahnya sesuai dengan
status ontologinya, yaitu; intuisi dan penyatuan jiwa (metode kaum irfan),
untuk mengetahui objek-objek nonmateri murni atau objek-objek metafisika dengan
cara langsung, deduksi rasional untuk mengetahui objek metafisika secara tidak
langsung maupun objek-objek matematika dan Induksi (Observasi dan eksperimen)
untuk mengetahui objek-objek fisika.
Sains metafisika mengkaji
objek-objek atau wujud yang secara niscaya bersifat nonmateri murni yang tidak
dipengaruhi oleh materi dan gerak. Seperti Teologi, Kosmologi, Ekskatologi.
Sains matematika mengkaji
objek-objek atau wujud yang meskipun bersifat nonmaterial namun berhubungan
dengan materi dan gerak. Seperti aretimetika, geometri, optika, astronomi,
astrologi, musik, ilmu tentang gaya, keteknikan dan lain sebagainya.
Sains fisika mengkaji
objek-objek atau wujud yang secara niscaya terkait dengan materi dan gerak.
Seperti unsur-unsur (atom-atom), mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia
(secara fisik).
Dalam klasifikasi sains islam
karena status objek-objek metafisika merupakan realitas ontologis yang berada
dipuncak (yang paling tertinggi) yang menjadi sebab segala sesuatu dibawahnya,
dimana objek-objek fisika merupakan objek realitas terbawah dan terendah dari
hirarki objek ontologi, maka secara berturut-turut sains metafisika merupakan
sains tertinggi dan sains fisika merupakan sains terendah setelah sains
matematika.
0 komentar:
Posting Komentar