Jumat, 14 Februari 2014

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
 - - - - - - - - Sebuah Prolog

Oleh: Miftah Farid*


Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan di Yogyakarta pada tanggal 14 Rabiul Awwal 1366 H bertepatan dengan tanggal 5 Pebruari 1947 oleh Lafran Pane,[1] seorang Mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam) yang kini berubah menjadi UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta yang masih duduk ditingkat I yang ketika itu genap berusia 25 tahun, ketika Indonesia tengah berjuang mempertahankan proklamasi kemerdekaannya dari ancaman kolonialisme Belanda dalam usaha kerasnya penjajahan kembali di tanah air.
Inilah yang menjadi landasan awal berdirinya organisasi dan kepedulian HMI terhadap problem yang dihadapi ummat Islam Indonesia khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya. Dan ini menimbulkan kesan tersendiri di kalangan pendiri bangsa bahwa HMI bersatu dalam mempertahankan kemerdekaan republik Indonesia pada era revolusi fisik. Jenderal Soedirman ketika sambutannya pada ulang tahun HMI yang pertama di Bangsal Agung, kepatihan Yogyakarta tanggal 6 Februari 1948 menggambarkan peran HMI sebagai tumpuan harapan komunitas muslim dan masyarakat Indonesia dalam statement nya yang bersejarah, HMI=Harapan Masyarakat Indonesia.
Dalam kondisi revolusi fisik, HMI mampu mengkondisikan dirinya sebagai pejuang yang terdepan dalam memperjuangkan masa depan bangsa. Menyadari suasana dan iklim politik yang sedang dalam keadaan perang dan pergolakan revolusi, maka pendiri HMI Lafran Pane dkk. meletakkan semangat dan tujuan yang relevan dengan tantangan zamannya, yaitu:
1. Mempertahankan NKRI dan mempertinggi derajat rakyat  Indonesia,
2. Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.
Tujuan ini merupakan kristalisasi dan sekaligus komitmen Ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan yang melekat pada HMI.
ORGANISASI?
Renungkan..!!!
Kita ini tak ubahnya ibarat air, yang mampu mengalir dengan lincahnya. Jangan coba-coba diam karena akan menggenang sehingga bisa memunculkan bau tak sedap dan mengundang berbagai macam penyakit. Bergerak mengalir di sini bukan difahami hanya mengejar obsesi diri sendiri semata, tetapi memikirkan dan berbuat untuk orang lain, seperti kata Sayyid Qutb, seorang pemikir muslim dari Mesir: ”Siapa yang hanya memikirkan dirinya sendiri, dia akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil, tetapi siapa yang mau memikirkan orang lain, dia akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar.”
Sesungguhnya keberadaan kita di dunia ini adalah sejauh mana kita bisa berbuat bagi orang lain, karena inilah rahasia pribadi unggul manusia bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Pertanyaannya, apakah kita lebih sering memberikan manfaat bagi orang lain, pemberi solusi atas berbagai masalah, atau sebaliknya, tukang pembuat masalah dan pemerkeruh suasana? Ingat bahwa air bisa memberikan kesejukan, tapi juga bisa memunculkan banjir bandang.
Kemudian, kita juga bisa mengamati bahwa air itu selalu menuju ke tempat tertentu. Kita pun begitu, kehidupan kita harus mempunyai orientasi yang jelas, tujuan hidup yang jelas, tak sekedar mengalir begitu saja. Selanjutnya ketika air ditahan atau dihambat dia akan terus mencari jalan lain, jalan keluarnya. Semasa dihambat itu, kekuatan air juga semakin besar. Lihat saja, misalnya ketika air dibendung, setelahnya akan menghasilkan energi yang besar. Inilah rahasia besar air yang kadang tidak kita sadari.
Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Prasyaratnya adalah ikhtiar yang optimal dan do’a yang ikhlas. Biasanya manusia kebanyakan menilai kesuksesan dari hasil yang didapat. Dalam kehidupan di dunia, tidak ada hasil akhir karena hasil dari sebuah proses merupakan awalan dari proses yang lain, dan begitu seterusnya hingga kematian menjemput. Oleh karena itu betapa beruntungnya manusia yang dinilai dari proses bukan hasil-nya karena jika dinilai dari hasil, maka betapa malangnya semua orang miskin di dunia. Penilaian bukan dilakukan pada titik ekstrim atas-bawah pada roda kehidupan, melainkan selama perputarannya menuju titik itu. Bagi seorang hamba yang memahami falsafah ini dengan benar, maka seperti tidak ada bedanya ketika ia berada di titik ekstrim manapun.
Akhirnya, dari sekelumit kata diatas saya dapat menyimpulkan bahwa dalam upaya kita menempa, memproduksi daya fikir dan kekuatan kita haruslah terwujudkan dalam kesungguhan kita bersikap dan belajar dalam hidup ini, agar energi tersebut semakin besar maka marilah kita berhimpun, membuat bendungan tangguh di Himpunan Mahasiswa Islam yang kokoh dan terarah. Kita akan bisa belajar lebih dalam berorganisasi, tempat bertemunya beragam corak kehidupan yang pasti akan kita hadapi nantinya, tak terelakkan.
Selalu semangat dalam juangmu, selalu...Yakin Usaha Sampai (YAKUSA)

Kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang tersedia

*Miftah Farid
Ketua Umum HMI Koms. Jalaluddin al-Rumy STAIN Kediri Periode 2009-2010


[1] Lafran Pane lahir di Desa Pangurabaan, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan pada Tanggal 12 April 1923 (ada sumber yang mengatakan lahir di Padangsidempuan, 5 Februari 1922). Lafran Pane berada dalam lingkungan Nasionalis-Islamis, Sebagai seorang nasionalis muslim, Lafran Pane termasuk kelompok pemuda yang memprakarsai Proklamasi 17 Agustus 1945, bersama-sama dengan Adam Malik, Sukarni, dan lain-lain

0 komentar:

Posting Komentar